Daun yang Tak pernah Membenci Angin meski harus Terenggutkan dari Tangkai Pohonnya




Judul Buku    : Daun yang Jatuh tak pernah Membenci Angin
Penulis           : Tere Liye
Tebal Buku    : 256 halaman
Penerbit         : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2010

Tere Liye adalah seorang pengarang terkenal yang sudah menulis banyak buku populer, antara lain Hujan, Pulang, Moga Bunda Disayang Allah, dan Daun yang Jatuh tak Pernah Membenci Angin. Tere Liya juga membuat sekuel novel, yaitu Serial Anak Mamak dan Sekuel Novel Bulan.
Novel-novel yang ditulis oleh Tere Liye memiliki keunikan sendiri yaitu sudut pandang yang disertai perasaan, termasuk novel Daun yang Jatuh tak pernah Membenci Angin ini. Hal itu juga yang mendasari saya untuk meresensi novel tersebut.
Novel bernuansa romantis ini menceritakan tentang Tania, gadis dari keluarga yang menjadi miskin sepeninggal ayahnya. Kisah Tania yang mengenal ‘seseorang’ yang sangat berarti bagi hidupnya yang diceritakan sebagai ‘Malaikat penolong keluarganya’.
Tania bertemu dengan seseorang yang bernama Danar, orang yang terlihat berumur 25 tahun. Saat itu Tania dan Adiknya sedang dalam perjalanan pulang menggunakan metromini sehabis mengamen (padahal usia Tania baru sebelas tahun dan Adiknya enam tahun). Kaki Tania yang tidak beralaskan apapun menginjak paku payung didalam metromini. Seketika Tania mengaduh dan Danar datang mengobati kakinya.
Keesokannya mereka bertemu lagi dengan Danar di bus yang sama. Ternyata Danar membelikan mereka sepatu baru dan mengunjungi rumah kardusnya. Semenjak saat itu, kehidupan keluarga mereka berubah. Tania kembali lagi bersekolah. Adiknya yang biasa dipanggil Dede senang dengan baju barunya. Ibunya memiliki usaha kue kecil-kecilan. Tania, Dede, dan Danar pun sering mengunjungi toko buku untuk membeli buku.
Ternyata Om Danar (Danar) memiliki sebuah kelas dongeng di hari Minggu dan mempersilakan Tania dan Dede untuk mengikuti kelas itu. Di kelas itu pula, Tania mengenal seorang kakak perempuan yang membuatnya mengetahui arti dari cemburu, orang itu Kak Ratna.
Kehidupan yang mulai membaik itu sebenarnya mulai memburuk juga. Ibunya, ternyata mengidap penyakit kanker paru-paru stadium empat. Ibu sering tiba-tiba pingsan. Hingga suatu ketika Ibu pingsan dan dirawat di rumah sakit. Ibu memberi pesan terakhir sebelum kepergiannya kepada Tania. Tania harus berjanji tidak akan menangis untuk siapapun kecuali untuk Om Danar.
Tania melanjutkan sekolah menengah sampai universitas di Singapur dengan Beasiswa. Bahkan, Tania meraih nilai rata-rata terbesar. Dengan semua pencapaian Tania, Om Danar sangat sering memberi Tania hadiah. Dan setiap diberi hadiah, Tania menangis.
Sebelum ulang tahun Tania, Om Danar mengajak Dede dan Kak Ratna ke Singapur. Lalu, mereka berempat makan di pecinan dan memberi tahu tentang rencana pernikahan Om Danar dan Kak Ratna. Tania sangat kaget dengan hal tersebut.
Ternyata rencana pernikahan tersebut terlaksana. Tania tidak datang. Sampai berbulan-bulan setelah pernikahan tersebut, Kak Ratna curhat pada Tania bahwa Om Danar berubah drastis.
Tania pulang untuk mencari tahu semuanya, semua teka-teki, semua perasaan. Akhirnya Tania mengetahui kebenarannya. Tania dan Om Danar ternyata saling mencintai. Sayang, batasan antara mereka sekarang adalah takdir.
Novel Daun yang Jatuh tak pernah Membenci Angin ini memiliki banyak keunggulan. Bahasa yang digunakan adalah bahasa sehari-hari sehingga cerita terasa dekat. Alur cerita yang maju mundur dan gaya bahasa yang sangat khas ditulis oleh Tere Liye. Ceritanya tidak mudah ditebak, membuat kejutan-kejutan tersendiri ketika membacanya. Ceritanya juga mengalir dengan halus, sehingga pembaca dapat mengikutinya dengan mudah. Penyampaian pesan moral lewat cerita ini berhasil sampai ke hati.
Tiada gading yang tak retak, begitu juga novel ini. Bagi pembaca yang baru membaca buku dengan bahasa seperti ini, akhir cerita akan terasa menggantung, karena tidak disampaikan secara tersurat. Sehingga, pembaca mungkin dibuat bingung.
Novel ini sangat cocok untuk orang yang menyukai cerita dengan alur yang mengalir, apalagi dengan gaya bahasa yang cukup tinggi. Novel ini juga sangat menonjolkan diksi dan pola kata khas Tere Liye. Untuk itu, saya sangat merekomendasikan novel ini.
(606 kata)
Hari Keenam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dukungan yang Terdengar Kecil

Se-iya bukanlah jaminan

Loyo Satu Melotot Seribu