Oppa, 너를 떠날 게 (Bro, I will leave you)

 Hatiku tercabik-cabik

Bukan karena Kang Daniel dan Jihyo Twice putus, atau album The Reinassance yang tak akan kubeli. Bukan karena konser anniversarynya oppadeul yang ngga aku ikutin, atau album K.R.Y. yang tak kupesan. Bukan karena Oppa dating sama Ari.


Hatiku tercabik-cabik (lagi)

Bukan karena aku tak ikuti trend baju, atau kilogram badan yang tak kunjung turun. Bukan karena aku tak bisa pakai baju oversize, atau bodyline yang tak sesuai harapan.


Hatiku tercabik-cabik lagi

Terpikir, apa yang kulihat jauh dari apa yang kuingat. Aku melihat pengamen di lampu merah malam hari, ketika aku pulang dari mengajar privat. Mungkin hampir pukul 9 malam. Aurat pengamen wanita itu tidak dihijab. Lalu kupikir apa yang terjadi, hingga di negeri ini ada manusia yang tak dapat melakukan kewajibannya. 

Oh, kuingat. Suatu waktu dahulu, di zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz, hingga ada istilah senada "serigala dan domba tak lagi kejar-kejaran memangsa-dimangsa". Yup, saking sejahteranya penduduk. Tentu, sebelum menjadi Khalifah, beliau adalah menantu seorang Khalifah, anak seorang gubernur, dan mantan gubernur. Apa karena relasi dengan para pemimpinnya hebat, sehingga beliau bisa membuat istilah antarhewan tadi berubah? 

Bukan itu.

Ku lanjutkan mengendarai motor ke lampu merah berikutnya. Ya Allah, kok lampu merah lagi? Keluhan itu diputus oleh pengamen anak kecil sekarang. Anak kecil? Mengamen? Yup, ini nyata. Seperti apa ya masa kecilnya Khalifah Umar bin Abdul Aziz? Kembali ku teringat, bahwa nasabnya mulia. Nasabnya sampai kepada sahabat Umar bin Khattab. Nasabnya juga sampai kepada menantu akhwat Umar bin Khattab yang kala itu diajak mencampurkan susu dengan air sehingga tak murni lagi, namun ia yakin Rabbnya Khalifah Umar bin Khattab Maha Melihat. Mulia sekali bukan? 

Masih banyak kisah Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang begitu menginspirasi. Bila makhluk Allah yang bukan Nabi saja begitu, bagaimana ya kerennya Rasulullah salla allahu alayh wa sallam?


Hatiku tercabik-cabik lagi (dan lagi)

Lalu bagaimana denganku? Apa mengeluh karena stopkontak kipas jauh dari tangan dapat jadi pembenaran? Apa deadline yang menyempit dan jaraknya berdempetan adalah pengecualian? Apakah sudah adanya orang yang berjuang menjadi toleransi? Atau, alasan apalagi yang sedang kucari?

Hatiku tercabik-cabik lagi dan lagi, karena aku kedikitan action.
Semoga cabiknya hati ini, bisa menjadi pengingat bersama agar takkan ada yang terkeping karena dunia yang menipu ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dukungan yang Terdengar Kecil

Se-iya bukanlah jaminan

Nasehat itu Ketulusan