Rara dan Segenap Keadaan Tidak Ideal

Rara masuk ke kamar kemudian menyalakan lampunya. Begitu lampu menyala, terlihatlah sekeliling dinding berwarna lavender yang dihias dengan tempelan-tempelan, seperti foto, mading, juga koran. Rara tampak bergegas ke meja belajarnya mencari-cari sesuatu. Rupanya ia mencari buku hariannya. Tempat ia menumpahkan kegelisahan yang masih bisa ia tulis. Akhirnya buku itu ketemu. Sekarang dia mencari spidol warna merah untuk menulis. Mukanya tampak semakin jelas, semakin jelas kesalnya. Sekarang ia tidak menemukannya. Jadi, ia menulis dengan pulpen hitam yang tergeletak di atas mejanya.

Aku benci, bukan, aku marah. Pikiranku sudah dikuasai emosi, bukan, hatiku. Aku tidak menyukai ini. Nilai ulangan matematika peminatanku jelek, ini tentu sudah berulang kali. Tapi, yang kali ini berbeda. Ini karena aku tidak bisa belajar. Aku fokus terhadap hal lain. Pertengkaran orangtuaku. 

Pulang sekolah saat sampai rumah aku kaget karena tiba-tiba bu guru menetapkan ulangan bab lingkaran besok. Gapapa! Aku yakin bisa belajar mengulang yang sudah diajari nanti malam. Ternyata rumah tak bisa dibuat begitu. 

Mamah dan papah bertengkar hebat. Bukan fisik, tapi omongannya kasar. Kata-kata berjatuhan tak terkendali, hanya untuk memuaskan hawa nafsu berupa amarah dahsyat. Entah apa yang dipikirkan sampai bisa mengeluarkan kata kasar seperti itu. Aku bisa mendengarnya langsung dengan telingaku. Aku hanya bisa duduk diam diruang tamu, pura-pura duduk tenang padahal hatiku terbentur. Keras. Kasar. Aku tak bisa berpikir untuk berlaku a, b, atau z. Pertengkaran mereka selesai karena mamah tak membalas perkataan papah. Ya Rabb. Ampuni aku.

Buku hariannya ini ia tulis agar terasa seperti 'novel'. Tetes demi tetes air asin hasil kelenjar airmata Rara berjatuhan menyentuh buku, membasahi buku. Lingkaran-lingkaran bekas airmata tak mau Rara lihat. Rara cepat-cepat menutup bukunya, menaruhnya baik-baik ditempat yang dia pikir cukup aman dari jangkauan orangtuanya.

Rara pergi ke tempat tidurnya, berbaring menenangkan hatinya. Masih terngiang apa-apa saja yang kedua orangtuanya keluarkan dari mulutnya. Bahkan suara nyamuk yang banyak sudah tidak ia respon. Rara fokus, berusaha memaafkan pertengkaran yang sudah terjadi, perkataan yang sudah terlempar, nilai yang jelek, hatinya yang terbentur, spidol merah yang tidak ada, dan segenap keadaan lainnya yang tidak diceritakan.

Yang Rara yakini adalah semua ini sudah ada ketetapannya. Bukan tugas Rara untuk mengintip ketetapan tersebut. Bukan tugas Rara juga untuk tidak menerima dengan ikhlas keadaan yang menimpanya. Rara tau, tugasnya sekarang adalah memaafkan. Menata hatinya agar kembali bersih dan rapi pasca benturan. Rara tau, dia pasti bisa lulus dari ujian hidup kali ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dukungan yang Terdengar Kecil

Se-iya bukanlah jaminan

Nasehat itu Ketulusan